Berapa Kali Rasulullah SAW Berpuasa Ramadhan?

Kewajiban berpuasa Ramadhan dimulai sejak tahun kedua Hijriah. Masa itu bertepatan ketika Nabi Muhammad SAW baru sekitar 18 bulan bertempat tinggal di Madinah. Pada akhir Sya’ban, wahyu Allah Surat al-Baqarah ayat ke-183 turun. Isinya memerintahkan umat Islam melaksanakan puasa Ramadhan.

يٰٓـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا كُتِبَ عَلَيۡکُمُ الصِّيَامُ کَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيۡنَ مِنۡ قَبۡلِکُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُوۡنَۙ

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan berlaku bagi setiap Muslim yang sudah dewasa (baligh). Puasa Ramadhan tidak diwajibkan kepada anak-anak, orang sakit, orang tua dan lemah, serta orang-orang yang sedang dalam perjalanan (musafir).

Satu pertanyaan yang cukup menarik. Mengapa kewajiban berpuasa dalam Islam hanya pada bulan Ramadhan? Mengapa bukan, misalnya, Syawal, Muharram, Rabiul Awal, dan lain sebagainya?

Tidak ada penjelasan yang komprehensif untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan semisal itu. Semua itu merupakan ketentuan dan rahasia Allah SWT. Sebagai umat Islam yang bertakwa, kita harus mematuhinya.

Sismono dalam bukunya, Puasa pada Umat-Umat Dulu dan Sekarang, mengingatkan, bulan Ramadhan menjadi istimewa bukan hanya karena adanya kewajiban berpuasa. Dalam bulan ini pun, Alquran turun pertama kali ke bumi.

Wahyu pertama, yakni surah al-‘Alaq, disampaikan melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Menurut pendapat yang umum dalam kalangan ulama, wahyu pertama tersebut turun pada malam 17 Ramadhan ketika Muhammad SAW sedang bermunajat di Gua Hira. Sejak saat itu pula, beliau dikukuhkan sebagai utusan Allah bagi seluruh umat manusia dan jin.

Malam turunnya Alquran begitu penting. Ketika itulah Allah menjanjikan pahala yang besar bagi siapa pun umat Islam yang beribadah dengan khusyuk.

Dalam Alquran surah al-Qadr, Allah menyebut malam turunnya Alquran sebagai malam yang kemuliaannya lebih baik daripada seribu bulan.

وَمَاۤ اَدۡرٰٮكَ مَا لَيۡلَةُ الۡقَدۡرِؕ لَيۡلَةُ الۡقَدۡرِ  ۙ خَيۡرٌ مِّنۡ اَلۡفِ شَهۡرٍؕ

“Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan.”

Selain Nuzulul Quran dan kewajiban berpuasa, Ramadhan juga menjadi istimewa karena ketika itulah selama satu bulan umat Islam semakin digiatkan dengan shalat malam (Tarawih). Apalagi ketika 10 hari terakhir bulan tersebut.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang berdiri melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan keikhlasan (karena Allah), maka diampuni segala dosa-dosanya yang telah lalu.”

Bila menilik pada sejarah, Nabi Muhammad SAW diketahui berpuasa selama sembilan kali Ramadhan. Perinciannya, delapan kali beliau berpuasa selama 29 hari dan satu kali berpuasa selama 30 hari. Dalam sistem kalender Qomariyah, penentuan jumlah hari dalam setiap bulannya memang berjumlah ganjil 29 atau genap 30 hari.

Rasulullah SAW memiliki tradisi menggiatkan ibadah sosial dan personal setiap Ramadhan. Dalam buku Ensiklopedia Peradaban Islam Makkah disebutkan, khususnya bulan Ramadhan, Jibril menemui Rasulullah setiap malam.

Kemudian, Rasulullah SAW mentadaruskan Alquran di hadapan Jibril. Hal ini menunjukkan keistimewaan bulan Ramadhan sebagai waktu untuk menjaga hafalan Alquran.

Adapun ibadah-ibadah lainnya yang digiatkan Nabi SAW setiap Ramadhan adalah umrah. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari, Rasulullah bersabda, “Umrah di bulan Ramadhan sama dengan berhaji atau berhaji dengan aku (Rasulullah).”

Dalam hadis lainnya riwayat Ahmad, Rasulullah berpesan kepada umatnya,

“Telah datang kepadamu Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah SWT mewajibkan kepadamu puasa di dalamnya. Pada bulan ini, pintu-pintu surga dibuka. Pintu-pintu neraka ditutup dan para setan diikat. Juga terdapat dalam bulan ini malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Barangsiapa yang tidak memperoleh kebaikannya, maka ia tidak memperoleh apa-apa.”

Puasa itu dapat dipilah jadi tiga tingkatan. Mulai dari yang tertinggi hingga yang terendah, yakni puasanya orang awam, puasanya khawas, dan puasanya khawasul khawas.

Puasanya orang awam sekadar menahan haus dan lapar semenjak terbitnya hingga terbenamnya matahari. Puasa khawas tidak sekadar menahan diri dari makan dan minum, melainkan juga ucapan-ucapan yang percuma dan menyakitkan hati.

Dalam kalimat lain, puasa tingkatan kedua ini menjaga pelakunya dari perbuatan yang tercela. Adapun puasanya khawasul khawas tidak sekadar menahan makan dan minum serta perbuatan yang tercela, melainkan juga terkait dengan hatinya.

Menurut para ulama, puasa khawasul khawas merupakan milik para nabi dan rasul Allah. Dalam sebuah hadis qudsi, Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya seluruh amal anak Adam itu untuk diri mereka sendiri kecuali puasa. Puasa itu untuk-Ku, dan Akulah yang akan membalasnya.”

Oleh karena itu, seyogianya setiap Muslim berpuasa Ramadhan dengan kesadaran penuh akan hubungannya dengan Allah (habluminallah). Tidak ada siapa pun yang tahu diri-berpuasa atau membatalkannya kecuali Allah dan hamba itu sendiri.

Wallahu a’lam

***Disadur dari sebuah tulisan Hasanul Rizqa di laman Republika

kembali ke atas | indeks pilihan | download


Sumber: facebook

Tinggalkan komentar