Mudik dan Ronda Tempo Dulu

Hari ini, sepekan menjelang Lebaran, sebagian besar warga Jakarta sudah bersiap mudik. Bagi para PKL (pedagang kaki lima) di Pasar Tanah Abang, yang siap-siap pindah berjualan mungkin baru akan mudik sehari/dua hari jelang Idul Fitri. Maklum, malam jelang lebaran atau malam takbiran warga Jakarta masih banyak yang berbelanja. 

Potret pemandangan Pasar Tanah Abang tahun 1970-an saat menjelang Lebaran. Sumber: facebook perpusnas

Di malam inilah baru mereka berangkat ke kampung halamannya, yang banyak dari mereka berasal dari di Sumatra Barat. Istilah mudik basamo pun biasa didengar di Tanah Abang. Mereka adalah para pedagang tangguh, bahkan banyak pemilik kios di Tanah Abang yang omzetnya puluhan miliar rupiah dahulunya “pedagang kaki lima”.

Bagi polisi dan aparat keamanan yang menggelar “operasi ketupat”, berjanji akan bertindak tegas terhadap para pelaku kriminal. Bahkan, sampai ada ancaman ‘tembak ditempat’.

Sumber: facebook

Pada akhir abad ke-19, seorang pendatang dari Solo bernama RA Sastradarma menceritakan tentang Kota Jakarta yang masih bernama Batavia. Dalam masalah keamanan kota, peraturan kepolisian dijalankan dengan keras dan cermat.

Setiap persoalan diselesaikan dengan cepat tanpa embel-embel uang pelicin kasus. Orang yang bepergian malam hari tidak diizinkan membawa senjata tajam. Setiap penduduk kampung mendapat tugas jaga bergilir (ronda) tiap lima hari atau seminggu sekali.

Penduduk dilarang berkelahi, apalagi tawuran yang kini marak; bukan hanya di Jakarta, juga di berbagai daerah. Ada petugas yang kerjanya keliling di kampung-kampung. Mereka adalah mata-mata polisi yang siap menangkap penduduk yang melakukan kejahatan.

Tiap kampung memiliki gardu penjagaan. Siang hari penjaga hanya dua orang, malam hari lima orang. Tiap orang bersenjata tombak, pentungan, dan dan tali. Selain yang menetap di gardu-gardu, malam hari ada lagi yang mengelilingi kampung mulai jam 8 malam sampai 5 pagi.

Sewaktu-waktu bila terjadi kebakaran atau ada orang mengamuk, mereka lekas membunyikan tanda bahaya dengan memukul kentongan. Gardu di kampung-kampung yang lain segera menyahut, hingga seluruh gardu di Batavia berbunyi. 

Kodenya kentongan kebakaran dibunyikan secara cepat dan berturut-turut. Sedangkan, untuk perkelahian dan kejahatan, bunyinya lamban tiga kali berturut-turut. Menurut Sastradarma, penjagaan keamanan macam inilah yang menyebabkan Kota Batavia aman tenteram, angka pencurian rendah.

Padahal, warga masih menyimpan perhiasan dan harta bendanya di rumah. Untuk warga yang kaya bahkan aksesoris rambut emas, belum perhiasan lainnya.

Pada akhir abad 19, penduduk Batavia sudah makin beragam. Hampir seluruh suku bangsa Indonesia dan kepulauan ada di Batavia. Demikian pula dari imigran luar negeri semakin banyak berdatangan.

Sumber: facebook

RA Satradarna sempat merayakan Hari Raya Idul Fitri di Batavia. Pagi-pagi orang berbondong-bondong pergi ke masjid untuk shalat Id. Lepas shalat, mereka menyerahkan zakat fitrah kepada lurah. Makanan dan kue-kue tetap tersedia selama tiga hari di meja-meja. Bagi orang kaya, persedian berlangsung lebih lama. Sekurang-kurangnya persediaan makanan cukup untuk tujuh hari tujuh malam. Meski ramai pendatang, sampai tahun 1950-an belum ada arus mudik besar-besaran seperti sekarang.***

Wallahu a’lam

***Disadur dari Harian Republika edisi 1 Agustus 2013. Alwi Shahab adalah wartawan Republika sepanjang zaman. Beliau wafat pada 2020.

kembali ke atas | indeks pilihan | download


Kawasan Pasar Tanah Abang. Sumber: facebook

Jembatan Ampera Dilihat dari Riverside Restaurant

Tinggalkan komentar