Sejarah Ringkas Kompas

Sejak ribuan tahun silam, manusia telah berupaya menghasilkan sebuah benda yang mampu menunjukkan arah mata angin. Kini, benda yang berfungsi demikian biasa disebut sebagai kompas.

Jauh sebelum kehadiran teknologi Sistem Pemosisi Global atau Global Positioning System (GPS), kompas merupakan instrumen yang paling umum digunakan untuk mengetahui pedoman arah. Sejarah kompas merentang setidaknya sejak lebih dari 2.000 tahun silam.

Bentuknya yang paling awal merupakan sebuah batu magnet (lodestone). Magnetisme yang bekerja pada benda tersebut selaras dengan medan magnet bumi. Dengan melihatnya, orang dapat dengan mudah menentukan, mana arah mata angin utara dan selatan.

William Lowrie dalam Fundamentals of Geophysics (2007) menjelaskan, orang-orang Yunani kuno telah menyadari kegunaan lodestone sebagai penunjuk arah mata angin. Bahkan, beberapa filsuf Yunani sudah menulis perihal batu magnet sejak abad kedelapan sebelum Masehi (SM).

Istilah magnet pun berkaitan dengan masyarakat di benua Eropa itu. Magnesia merupakan sebuah koloni Yunani yang berdiri pada abad kelima SM di dekat Ephesus–kini termasuk Provinsi Izmir, Turki.

Letak Magnesia di Yunani | Sumber: wikipedia

Sejak 113 SM, wilayah itu menjadi bagian dari Imperium Romawi dan diberi nama Magnesia ad Maeandrum. Kemudian, orang-orang Romawi menemukan bahwa daerah itu menghasilkan magnetit (Fe3O4), yakni bijih besi hitam yang memiliki gaya tarik logam besi. Dari sanalah nama benda itu, magnet, berasal.

Konon, orang-orang Yunani bukanlah yang pertama memanfaatkan bijih besi hitam itu untuk keperluan penunjuk arah. Justru bangsa Cina-lah yang paling awal melakukannya. Mereka menjadi yang pertama menyadari sifat unik magnetit, yakni selalu mengarah ke utara dan selatan pada masing-masing ujungnya.

Setidaknya sejak zaman hayat Shen Kuo atau Mengqi (1031-1095 M), bangsa Asia Timur itu menggunakan magnet sebagai penunjuk arah. Inilah dimulainya revolusi dalam bidang navigasi, baik di daratan maupun lautan.

Namun, benarkah cikal bakal kompas lahir di negeri Cina? Beberapa sumber berupaya memberikan jawaban alternatif. Misalnya, Henrich Winter dalam artikelnya yang terbit di The Mariner’s Mirror (2013), “Who Invented the Compass?”

Menurut dia, ada anggapan bahwa banga Viking adalah yang pertama kali menyadari sifat unik magnetit, yakni menunjuk pada arah mata angin tertentu. Mereka lalu menggunakannya untuk keperluan navigasi.

Bagaimanapun, anggapan itu terbilang lemah. Sebab, lanjut Winter, ada kecenderungan bahwa pendukung hipotesis ini hanya merujuk pada hikayat-hikayat tentang bangsa yang menghuni kawasan Eropa utara itu. Termasuk di antaranya adalah legenda penemuan Amerika utara oleh Viking pada abad ke-11.

“Legenda tersebut menjadi bahan perdebatan di kalangan ahli kelautan karena tidak mungkin perjalanan (dari Eropa utara ke Amerika utara) dilakukan tanpa bantuan kompas,” tulis dia.

Katakanlah bahwa bangsa Viking benar menggunakan kompas untuk mengarungi lautan. Namun, kompas yang dimaksud bekerja dengan prinsip arah sinar matahari (solar compass), bukan magnet. Hal itu dibuktikan dengan penemuan artefak Cakram Uunartoq di Greenland pada 1948.

Ilustrasi cakram uunartoq | Sumber wikipedia

Lagipula, catatan terawal yang ditulis oleh orang Eropa tentang kompas magnet berasal dari akhir abad ke-12 atau sekira 100 tahun setelah Mengqi. Dalam buku The Nature of Things, cendekiawan Inggris Alexander Neckam (1157-1217) menceritakan bagaimana seorang pelaut yang ditemuinya menggosok batu magnet pada ujung jarum, yang lantas diapungkan pada sebuah bejana berisi air. Jarum yang sudah bermuatan magnetis itu selalu menunjuk ke arah utara.

Dapat disimpulkan, Eropa lebih belakangan mengetahui fungsi magnet sebagai penunjuk arah bila dibandingkan dengan bangsa Cina. Masyarakat dari Asia timur itu sudah mengenal keunikan sifat benda itu sejak abad pertama Masehi dan memanfaatkannya pula untuk navigasi, sekurang-kurangnya sejak abad ke-11 M.

Benda ini dinamakan sinan. Bentuknya menyerupai sendok, tetapi fungsinya menunjukkan arah mata angin. Selayaknya kompas. | DOK WIKIPEDIA

Nianzu Dai dalam buku A History of Chinese Science and Technology (2015) menerangkan, kompas merupakan salah satu inovasi yang ditemukan bangsa Cina sejak abad pertama Masehi. Masyarakat lokal kala itu menyebutnya sebagai sinan, yakni “sendok yang selalu mengarah ke selatan” (the south-indicating ladle). Sebab, bentuk batu magnet yang dipakai untuk menunjuk arah menyerupai sebuah sendok. Itu diletakkan pada sebuah kepingan batu atau pualam.

Catatan tertua yang menyebut istilah sinan adalah Hanfeizi Youdu. Manuskrip itu ditulis oleh seorang filsuf legalis Han Fei-tzu (280-233 SM). Dalam risalahnya, penasihat kaisar Shi Huang Di (259-210 SM) tersebut mengingatkan, kebijaksanaan raja-raja terdahulu “bagaikan sinan” yang memandu sang kaisar agar mengetahui “arah yang benar dan jelas, mana timur dan mana barat”.

Barulah pada zaman Dinasti Han Timur, yakni permulaan abad pertama Masehi, berbagai catatan sudah menggunakan istilah sinan untuk menunjuk pada benda konkret. Umpamanya, tulisan Wang Chong (27-97 M) yang berjudul Lun Heng Shiyingpian. Di sana, ia mendeskripsikan sinan sebagai benda yang menyerupai sebuah sendok di atas mangkuk. Benda bermuatan magnetis itu akan berotasi di atas permukaan mangkuk yang halus. Ujung sendok tersebut selalu menunjuk ke arah selatan.

Meskipun berguna untuk menentukan arah mata angin, sinan tidak selalu difungsikan orang-orang Cina pada masa itu sebagai instrumen navigasi. Mereka justru memakainya untuk keperluan Fengshui.

Seorang ahli Fengshui selalu menekankan, manusia perlu hidup dalam keselarasan dengan alam—yang diibaratkan dengan angin dan air. Dalam pandangannya, seseorang hendaknya mempunyai rumah dan tempat kerja di lokasi yang menguntungkan agar berhasil dalam kehidupan. Sinan menjadi sebuah alat untuk menerawang lokasi yang dimaksud.

Alih-alih sinan, orang-orang Cina pada masa itu membuat benda lain untuk keperluan navigasi, yakni kereta pedoman selatan (south-pointing chariot). Penemunya bernama Ma Jun alias Deheng. Ia hidup pada Zaman Tiga Kerajaan (Sanguo Shidai), antara tahun 220 dan 280 Masehi.

South-pointing chariot biasa dipakai oleh pasukan militer dalam pertempuran. Bentuknya seperti gerobak beroda dua. Replika orang-orangan yang ada di atasnya selalu menunjuk arah selatan, ke manapun kereta itu bergulir.

Karya Ma Jun itu mengandalkan gerigi yang terhubung dengan as roda, alih-alih magnet. Karena tidak memanfaatkan sifat batu magnet, alat tersebut tak cukup akurat untuk menentukan arah utara-selatan bila dibandingkan dengan sinan atau kompas pada masa itu.

Dokumen: wikipedia

Sejak abad ketujuh atau masa Dinasti Tang (618-907), bangsa Cina membuat salah satu terobosan baru. Mereka mengembangkan instrumen yang lebih ringan daripada sinan. Dalam arti, magnet yang dipakai untuk menunjukkan arah mata angin tidak lagi berupa sendok, melainkan jarum. Dengan demikian, bentuknya semakin mendekati wujud kompas zaman modern.

Pada abad ke-10, Zeng Gongliang, seorang ahli strategi perang pada zaman Dinasti Song Utara (960-1127 M), membuat tulisan yang terhimpun dalam “Wujing Zongyao”, (Kumpulan Teknik-teknik Militer yang Utama). Gongliang menjelaskan secara perinci tentang cara induksi untuk memagnetkan sebuah jarum. Ia juga memaparkan temuannya tentang cara lain membuat magnet, yakni dengan mendinginkan besi panas.

Pada masa Dinasti Song (960-1279 M), terdapat sebuah manuskrip yang menceritakan ihwal cara menggunakan jarum magnet untuk kepentingan navigasi. Di sana, tokoh utamanya adalah Shen Kuo alias Mengqi (1031-1095 M), seorang ilmuwan serbabisa (polymath) yang mengepalai Biro Astronomi di istana kaisar Song.

Risalahnya “Mengqi Bitan” (1088) tidak hanya menjelaskan proses penggosokan dan induksi sebagai cara-cara membuat magnet. Shen Kuo juga memaparkan secara detail, bagaimana jarum bermuatan magnetis dapat dipakai untuk menunjukkan arah utara-selatan.

Penggambaran karakteristik magnet jarum sebagai penunjuk arah, sebagaimana yang dilakukan Shen Kuo, tergolong inovatif. Orang-orang Eropa baru mengetahuinya sekitar empat abad kemudian.

Shen Kuo meyakini, sebuah jarum kompas magnetis dapat menunjuk pada tidak hanya delapan, melainkan 24 arah mata angin. Hal itu disebabkan dirinya sudah menemukan meridian astronomi yang lebih akurat, yang ditentukan melalui pengukuran jarak antara bintang kutub dan utara sejati.

Buku karya Zhu Yu yang terbit pada 1119 M menjadi yang pertama mendeskripsikan pelayaran maritim yang dilakukan dengan panduan kompas magnet. Zhu Yu menukil kronologi peristiwa yang terjadi pada 33 tahun sebelumnya, yakni ketika Shen Kuo menulis “Mengqi Bitan.” Artinya, penggunaan kompas untuk keperluan maritim sangat mungkin sudah biasa dijumpai di kalangan para pelaut Cina, setidaknya sejak awal abad ke-12 M.

Di luar negeri Cina, catatan yang paling awal membicarakan kompas ialah The Nature of Things karya sarjana Inggris Alexander Neckam (1157-1217 M). Dalam buku yang ditulis antara tahun 1190 dan 1200 itu, Neckam menuturkan kebiasaan seorang pelaut yang pernah diceritakan kepadanya.

Si pelaut dikatakan membuat alat penunjuk arah mata angin dari sebuah jarum yang telah digosokkan secara searah berulang-ulang pada batu magnet atau lodestone. Jarum tersebut lantas mengapung pada permukaan air dalam bejana dan selalu menunjuk pada utara.

Adapun manuskrip tertua yang menyebut tentang kompas dalam aksara Arab ialah Jawami ul-Hikayat, terbit pada 1232, karya Zahiriddin Nashr Muhammad Awfi (1171-1242 M). Sastrawan Muslim Persia itu telah berkelana ke banyak negeri Islam. Mulai dari kota tempat kelahirannya, Bukhara, hingga Samarkand, Delhi, Khorasan, Nishapur, dan Ghaznin.

Dalam mahakaryanya yang berbahasa Persia itu, Awfi menghimpun berbagai pengalaman, cerita, dan informasi yang ia temukan di sepanjang perjalanannya. Salah satunya menuturkan kisah beberapa pelaut yang ditemuinya dalam perjalanan antara Teluk Persia dan Laut Merah.

Mereka kerap menggosok sekeping besi berbentuk ikan pada sebuah batu magnet. Sama seperti kesaksian Neckam, benda logam itu kemudian diapungkan dan memberi petunjuk arah mata angin.

Penulis Muslim lainnya yang menyinggung perihal kompas ialah Bailak al-Qabajagi pada 1282. Sekitar 40 tahun sebelumnya, sarjana asal Kairo, Mesir, itu mengaku pernah menyaksikan seorang kapten kapal memanfaatkan magnet besi yang diambangkan di atas air sebagai kompas. Benda itu memandunya selama pelayaran di Samudra Hindia. Persis seperti keterangan Awfi, kepingan besi yang dijadikan magnet juga berbentuk seperti ikan.

Secara umum, bangsa Arab-Muslim sudah banyak mengadopsi teknologi buatan Cina, setidaknya sejak abad kedelapan Masehi. Sebagai contoh, pembuatan kertas yang diinisiasi Dinasti Abbasiyah sejak kekhalifahan itu berhasil mengalahkan Dinasti Tang dalam Perang Talas pada 751. Dalam pertempuran tersebut, beberapa orang Cina yang ditawan Abbasiyah ternyata pengrajin kertas. Dari sana, pengetahuan dan keterampilan membuat kertas pun mulai menyebar ke penjuru dunia Islam dan akhirnya Eropa.

Maka, tak menutup kemungkinan bahwa peradaban Islam sesungguhnya sudah mengenal fungsi magnet sebagai penunjuk arah mata angin jauh sebelum terbitnya Jawami ul-Hikayat pada abad ke-13 M. Apalagi, masa keemasan Islam dalam bidang sains sudah mengemuka sejak abad kesembilan Masehi.

George Sarton dalam karya monumentalnya, Introduction to the History of Science (tiga jilid, 1931) mengatakan, penggunaan kompas dalam navigasi merupakan penemuan Muslim yang mengadopsi teknologi sinan dari Cina. Namun, mengapa keterangan tertulis tentang kompas di luar Cina justru muncul dari Eropa, bukan Islam (Arab-Persia)? Menurut Sarton, hal itu menunjukkan penggunaan kompas di negeri-negeri Islam sudah dianggap sebagai pengetahuan umum, setidaknya sejak abad ke-10.

Akademisi Harvard University itu juga menggarisbawahi, bangsa Cina boleh jadi dipandang sebagai penemu pertama kompas yakni sinan. Akan tetapi, dalam penilaiannya, mereka kurang bisa menggunakan benda itu untuk berbagai keperluan yang lebih rasional daripada Fengshui. Penggunaan kompas sebagai perangkat navigasi yang ilmiah justru dirintis peradaban Islam.

Sarton mengingatkan, jalur maritim di Samudra Hindia yang menghubungkan Cina, Nusantara, India, Persia, Arab, dan Afrika Timur merupakan monopoli Muslim pada abad pertengahan. Sementara, pengetahuan tentang kompas lebih dahulu terpublikasi di Inggris pada 1190-1200, bukan misalnya Italia atau negeri-negeri di kawasan Eropa Selatan.

Artinya, teknologi kompas yang dipakai para pelaut Muslim kurang disambut antusias orang-orang Eropa pengelana lautan masa itu ketimbang mereka yang melalui rute darat—mulai dari Kaukasus, Rusia, hingga Eropa Utara dan Barat. Sarton menduga, di antara alasannya ialah perjalanan jalur darat itu jauh lebih sulit—untuk tidak mengatakan mustahil—dilakukan tanpa dipedomani alat semisal kompas. Maka ketika mengetahui fungsi kompas magnet, mereka menyambut salah satu hasil inovasi peradaban Islam itu secara antusias.

Tidak seperti kompas pada masa modern kini, sinan dari Cina maupun kompas yang dipakai Muslimin pada abad pertengahan memakai arah selatan sebagai pedoman utama. Dalam hal ini, menurut Sarton, peradaban Islam mungkin tak sekadar mengikuti tradisi Tiongkok dalam pembuatan kompas.

Sebab, bagi kebanyakan Muslim utamanya di Turki Utsmaniyah, arah selatan merujuk pada letak Ka’bah di Kota Makkah al-Mukarramah. Saat hendak shalat, mereka akan berdiri menghadap arah selatan, yakni letak kiblat bila dilihat dari posisi mereka berada. Bahkan, pada kebanyakan kompas buatan Utsmaniyah mata angin selatan disebut sebagai al-qibla.

Pada akhir abad ke-13, sultan Yaman sekaligus pakar ilmu perbintangan Al-Malik al-Ashraf menulis kitab pertama yang memaparkan fungsi kompas sebagai “alat penunjuk kiblat”. Selain itu, dalam kitab yang sama ia juga menjelaskan langkah-langkah pembuatan alas jarum kompas (thasa).

Benda buatannya tidak hanya berguna untuk menentukan letak arah mata angin, tetapi juga garis meridian dan tentunya kiblat. Ihwal astrolab dan jam bayangan matahari yang dipakai untuk menentukan masuknya waktu shalat juga turut dibicarakannya.

Mengikuti al-Ashraf, pada 1300, seorang astronom Mesir Ibnu Sim’un juga mendedah perihal kompas sebagai penunjuk arah kiblat. Bedanya, ia kali ini memakai kompas kering. Dalam arti, jarum yang telah bermuatan magnet tidak diapungkan di atas air dalam bejana, melainkan diletakkan di atas tatakan batu.

Kompas yang dipergunakan pada abad keemasan Islam umumnya memiliki tidak hanya delapan, melainkan hingga 32 titik petunjuk mata angin. Sejarah mencatat, pada abad ke-11 atau mungkin sebelumnya para pelaut Arab-Muslim menggunakan kompas marinir untuk mempedomani arah berlayar.

Laksamana Ma He atau Cheng Ho (1371-1435 M) merupakan pengelana Muslim asal Cina yang turut memanfaatkan kompas. Lebih dari 70 tahun sebelum Christoper Columbus “menemukan” Amerika, tepatnya pada 1421 sang admiral yang juga duta kaisar Dinasti Ming itu telah memimpin misi maritim ke berbagai penjuru dunia.

Armadanya lebih besar dari yang dipakai Columbus. Panjang kapalnya mencapai 160 meter. Dalam misinya itu, ia memimpin sekitar 208 unit kapal ukuran besar, menengah, hingga kecil dengan disertai sekitar 27.800 awak kapal.

Cheng Ho mengarungi lautan selama 28 tahun, yakni antara 1405 dan 1433 M. Demi kesuksesan perjalanan, ia tentunya sangat mengandalkan pengetahuan navigasi yang mumpuni. Alhasil, kompas yang digunakannya merupakan inovasi terbaru pada zamannya. Benda itu disebut-sebut berasal sejak era Dinasti Song (960-1279) yang telah disempurnakan sehingga lebih presisi dalam menunjukkan arah mata angin.

Popularitas kompas dari dunia Islam mulai merambah ke Eropa Selatan sekitar permulaan abad ke-14. Pelaut Italia, Flavio Gioja disebut-sebut sebagai yang pertama memperkenalkan kompas kepada masyarakat Barat Mediterania pada 1300. Ia berasal dari Amalfi, sebuah daerah Italia di pesisir Laut Adriatik.

Nama Amalfi kemudian menjadi legenda karena dipercaya sebagai kota tempat ditemukannya kompas. Padahal, jauh sebelum Gioja lahir para pelaut Cina dan Arab sudah memanfaatkannya sebagai panduan dalam berlayar.

Bahkan, nakhoda Italia itu sudah keduluan oleh sesama orang Eropa dalam memperkenalkan kompas kepada publik Benua Biru. Petrus Peregrinus sejak 1269 sudah menjelaskan cara kerja kepingan jarum besi yang telah digosokkan sebelumnya pada batu magnet. Jarum tersebut bila dibiarkan terapung pada permukaan air akan selalu menunjukkan arah utara—dan pangkalnya pada arah selatan.

Uraian tersebut dituliskannya dalam sebuah surat bertajuk “Epistola Petri Peregrini de Maricourt ad Sygerum de Foucaucourt, militem, de magnete” (Surat Peter Peregrinus dari Maricourt kepada Sigerus dari Foucaucourt, tentara, mengenai magnet). Naskah yang lebih dikenal sebagai “Epistola de Magnete” (Surat Magnet) itu merupakan teks tertulis pertama di Eropa yang membicarakan ihwal magnet—serta kompas—dengan begitu detail.

Epistola-de-magnete | wikipedia

Lain dahulu, lain sekarang. Pesatnya perkembangan teknologi membuat kompas agaknya mulai ditinggalkan saat ini. Orang-orang cenderung mengandalkan GPS sebagai alat penunjuk arah. Tidak seperti kompas yang memiliki jarum magnetis analog, teknologi kekinian ini umumnya menampilkan data digital.

Cikal-bakal teknologi itu adalah Navstar GPS yang dimiliki Amerika Serikat (AS) pada periode Perang Dingin. Sistem tersebut dapat menentukan koordinat dan posisi sebuah objek di bumi dengan bantuan satelit. Mulanya, Navstar GPS dirancang hanya untuk kepentingan militer dan intelijen Negeri Paman Sam. Washington DC terus berupaya meningkatkan kemampuan spionasenya agar mengungguli Uni Soviet, saingannya pada periode tersebut.

Ketika Uni Soviet meluncurkan Sputnik 1 pada 1957, dua orang fisikawan AS, William Guier dan George Weiffenbach, memutuskan untuk memantau pergerakan transmisi radio satelit buatan itu. Keduanya bekerja di Laboratorium Fisika Terapan (APL) Universitas Johns Hopkins.

Suatu hari, mereka menyadari bahwa posisi real-time Sputnik I dapat ditunjukkan di sepanjang orbitnya karena efek Doppler. Temuan itu kemudian dilaporkan kepada pihak kampus, yang lantas mengizinkan keduanya untuk mengakses superkomputer UNIVAC guna melakukan kalkulasi berat yang diperlukan.

Awal tahun berikutnya, wakil direktur APL saat itu Frank McClure meminta Guier dan Weiffenbach untuk menyelidiki masalah kebalikannya: apakah mungkin satelit dapat menunjukkan lokasi si penggunanya. Akhirnya, APL Universitas Johns Hopkins mulai mengembangkan sistem navigasi satelit yang dinamakan Transit. Riset tersebut pun disokong Kementerian Pertahanan AS sejak 1959.

AS meluncurkan untuk pertama kalinya satelit GPS pada 1978. Waktu itu, penerapan sistem navigasi satelit tersebut hanya dikhususkan bagi angkatan bersenjata.

Berakhirnya Perang Dingin pada 1990-an tidak menyudahi geliat riset sistem navigasi berbasis satelit. Justru, berbagai penelitian semakin digiatkan.

Penggunaan GPS akhirnya dibuka untuk umum setelah Kongres AS merestuinya. Khususnya sejak merebaknya teknologi informasi digital, perkembangan GPS kian pesat. Fungsi utamanya untuk menunjukkan secara presisi, terkini, dan gamblang posisi suatu objek yang berada di darat, laut, dan udara. Kalau dahulu niatnya untuk melacak “musuh”, kini lebih sebagai alat komunikasi yang memudahkan aktivitas sehari-hari masyarakat penggunanya.***

Wallahu a’lam

***Disadur dari sebuah tulisan Hasanul Rizqa di laman Republika

kembali ke atas | indeks pilihan | download


Sumber: facebook

Tinggalkan komentar