Tiga Perpustakaan Masyhur di Dunia Islam

Syihabuddin Abul Abbas bin Ali, atau yang lebih dikenal sebagai al-Qalqashandi, merupakan seorang cendekiawan yang hidup pada abad ke-15 M. Sekretaris Kesultanan Mamluk itu juga dikenang sebagai penulis ensiklopedia yang andal.

Aktivitas para intelektual di Bait al-Hikmah, Baghdad. | DOK WIKIPEDIA

Dalam catatannya, seperti dinukil dari buku Medieval Islamic Civilization: An Encyclopedia (2006), al-Qalqashandi mendaftar banyaknya perpustakaan di negeri-negeri Muslim. Dari sekian banyak itu, ia menyebut tiga institusi yang paling top. Ketiganya adalah Bait al-Hikmah Baghdad (Irak), perpustakaan Dinasti Fatimiyyah (Mesir), dan perpustakaan Kordoba milik Dinasti Umayyah (Andalusia/Spanyol).

Sultan Harun al-Rasyid (wafat 809) dari Bani Abbasiyah merintis perpustakaan besar yang dinamakannya Bait al-Hikmah (‘Rumah Kebijaksanaan’). Sesudah mangkatnya, lembaga ini semakin cemerlang di bawah kendali anaknya, Sultan al-Ma’mun. Bait al-Hikmah terus berkembang menjadi pusat koleksi pelbagai pustaka dari penjuru dunia, serta penerjemahan teks-teks pengetahuan ke dalam bahasa Arab.

Sultan Harun al-Rasyid dan penerusnya, Sultan al-Ma’mun, sangat mencintai ilmu pengetahuan. Mereka mengumpulkan begitu banyak naskah berbahasa Yunani, Cina, Sanskerta, Persia, dan lain-lain untuk kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Pada awalnya, naskah-naskah yang dialihbahasakan sebatas bertema kedokteran, matematika, dan astronomi. Akan tetapi, belakangan pelbagai bidang keilmuan lainnya turut diseriusi.

Rasa cinta penguasa Dinasti Abbasiyah terhadap buku begitu besar. Bahkan, beberapa perang besar yang dilakukan wangsa ini berakhir dengan perundingan yang mensyaratkan penyerahan buku. Misalnya, perang antara Abbasiyah dan Romawi Timur. Salah satu poin yang diwajibkan sultan Abbasiyah terhadap Byzantium adalah penyerahan naskah-naskah buah tangan astronom Yunani Kuno, Ptolemeus, kepada Bait al-Hikmah. Setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, naskah-naskah tersebut dinamakan ulang sebagai Almagest.

Karya ini dan dua buku lainnya, yakni Siddhanta dari India dan Zij-i Syahriyari dari Persia Kuno, kemudian menjadi masukan penting bagi para astronom Muslim mengeksplorasi lebih presisi lagi posisi benda-benda langit. Di samping itu, mereka juga mengadakan sejumlah koreksi besar atas hasil observasi astronom-astronom dari masa silam itu. Demikian dikutip dari buku karangan Joseph A Angelo, Encyclopedia of Space and Astronomy dan Science and Civilization in Islam karya Seyyed Hossein Nasr.

Baghdad menjadi kawah candradimuka untuk mengumpulkan dan mengembangkan pelbagai ilmu pengetahuan yang muncul dari kebudayaan-kebudayaan besar dunia.

Artinya, globalisasi pengetahuan bergeliat pesat di Perpustakaan Bait al-Hikmah. Fungsi lembaga ini tidak sekadar memenuhi keinginan penguasa Abbasiyah (Arab) untuk menerjemahkan teks-teks penting, melainkan juga ajang bertemunya sarjana-sarjana terkemuka dari penjuru dunia, baik itu Muslim maupun non-Muslim.

Dengan dukungan fasilitas negara, banyak ilmuwan brilian mempersembahkan karya-karya terbaiknya kepada kemanusiaan. Untuk menyebut beberapa nama, misalnya, sosok genius matematika, Al-Khwarizmi. Dia menulis Kitab al-Jabr saat bekerja di Bait al-Hikmah era Sultan al-Ma’mun. Dari buku tersebut, berkembanglah teori aljabar atau algoritma yang tanpanya kita semua mustahil memasuki abad internet.

Ilustrasi Bait al-Hikmah. Sumber: detik.com

Perpustakaan kedua yang ditinjau al-Qalqashandi adalah Dar al-‘Ilm, yang berada dalam kompleks al-Azhar. Lembaga ini dipelopori Dinasti Fatimiyyah yang menguasai Kairo, Mesir, antara abad ke-10 dan 12. Sejak awal, para sultan Fatimiyyah hendak meletakkan al-Azhar dalam konteks persaingan dengan Dinasti Abbasiyah.

Bila Baghdad mampu menjadi permata peradaban umat manusia, mengapa Kairo tidak? Kunci kemenangan fastabiqul khairat ini terletak pada peningkatan mutu perpustakaan. Maka berdirilah Masjid Al-Azhar pada 971 sebagai pusat aktivitas keagamaan dan keilmuan.

Masjid Al-Azhar di Kairo, Mesir. Sumber: wikipedia

Awalnya, nama masjid tersebut bukanlah al-Azhar, melainkan Jami’ al-Kahhirah. Institusi ini kemudian dinamakan al-Azhar agar nisbahnya sampai kepada gelar putri Rasulullah SAW, Fatimah az-Zahra. Kegiatan akademis di Masjid Al-Azhar berlangsung empat tahun sejak pendiriannya.

Kuliah perdana disampaikan Abu hasan Ali bin Muhammad bin an-Nu’man selaku kadi tertinggi Dinasti Fatimiyah kala itu. Saat masa transisi kekuasaan ke Dinasti Ayyubiyah, Universitas al-Azhar tak terlalu berkembang pesat. Ini lantaran kampus tersebut masih kuat menganut paham wangsa sebelumnya, Fatimiyah.

Universitas Al-Azhar kembali hidup di masa pemerintahan Ayyubiyah. Sebab, para sultan menyadari pentingnya eksistensi Kairo sebagai pusat pendidikan dan literasi di Dunia Islam. Mereka lantas mengundang para sarjana dari mancanegara agar bersedia datang dan mengajar di sana. Jabatan syekh atau rektor Universitas al-Azhar mulai terbentuk pada 1517. Tugasnya antara lain memberikan reputasi kepada para sarjana, guru, mufti, dan hakim.

Perpustakaan memegang fungsi yang amat penting dalam sistem pengajaran di al-Azhar, yang berupa lingkaran studi di dalam masjid (halaqah), diskusi-diskusi (niqasy), dan dialog (hiwar). Nama perpustakaannya adalah Dar al-‘Ilm.

Fasilitas ini termasuk dalam kompleks istana kerajaan yang luasnya mencapai setengah kota tua Kairo. Penyelenggaraan Dar al-‘Ilm sesungguhnya telah berlangsung sejak era Khalifah al-Hakim dari Dinasti Fatimiyyah. Dia pula yang merintis kegiatan donasi, yang berupa ribuan buku dari rumah pribadinya untuk Dar al-‘Ilm.

Perpustakaan Dar al-‘Ilm terbuka bagi umum. Katalog bertahun 435 hijriah (1045 M) menunjukkan, fasilitas literasi tersebut mengoleksi sebanyak 6.500 buku bertema astronomi, arsitektur, dan filsafat. Pada zaman pemerintahan Al-Muntasir (1036–1094), perkembangannya mulai begitu pesat.

Ketika Dinasti Fatimiyyah runtuh, penggantinya hendak menjual semua warisan penguasa terdahulu itu, termasuk buku-buku di Dar al-‘Ilm. Beruntung, al-Fadhil al-Basyani berhasil menyelamatkan banyak koleksi dari perpustakaan itu. Kadi Dinasti Ayyubiyah itu sampai-sampai mesti membeli kembali buku-buku yang sempat terjual di pasaran.

Semua upaya itu dilakukannya lantaran rasa cinta terhadap dunia literasi. Selain itu, al-Basyani juga berjasa menyumbang sekitar 100 ribu buku ke pelbagai madrasah Al-Fadhiliyah yang didirikannya. Pencinta buku lainnya di Kairo adalah Abdus Salam al-Qazwni. Koleksi pribadinya mencapai 40 ribu buku, yang di antaranya merupakan hasil pembeliannya dari istana Dinasti Fatimiyyah. Bahkan, sumber Abu Shama menyebut jumlah koleksinya mencapai dua juta buku!

Universitas dan Masjid Al-Azhar. Sumber: wikipedia
Perpustakaan Umum Kordoba. Sumber: wikipedia

Perpustakaan ketiga yang dipuji Al-Qalqashandi merupakan warisan Dinasti Umayyah di Andalusia (Spanyol). Perintisnya adalah raja kedua wangsa tersebut di Andalusia, Sultan al-Hakam II. Dia memang terkenal sebagai pencinta ilmu pengetahuan. Sebuah sumber menyebutkan, koleksi pribadinya mencapai lebih dari 600 ribu buku.

Sosok yang memimpin dalam periode 961-976 ini lantas membangun perpustakaan besar di Kordoba dengan meniru model Bait al-Hikmah Baghdad. Koleksinya melampaui jumlah 400 ribu buku. Letaknya termasuk dalam kompleks istana tetapi segera menjadi pusat berkumpulnya para ilmuwan dari penjuru dunia, terutama atas undangan Sultan al-Hakam II sendiri.

Kecintaannya terhadap literasi dibuktikan dengan upayanya membeli begitu banyak buku dari Baghdad, Kuffah, Basrah, Damaskus, Konstantinopel (kini Istanbul), Kairo, Mekah, dan Madinah. Lantaran meniru cara Bait al-Hikmah Baghdad, Sultan al-Hakam juga menggiatkan aktivitas penerjemahan teks-teks dari bahasa Latin dan Yunani ke bahasa Arab. Untuk memuluskan proyek penerjemahan ini, dia membentuk tim yang terdiri atas ilmuwan Muslim dan Katolik. Bahkan, dia sendiri ikut menulis sebuah historiografi tentang Andalusia.***

Wallahua a’lam

***Disadur dari sebuah tulisan Hasanul Rizqadi laman Republika

kembali ke atas | indeks pilihan | download



Tinggalkan komentar