Arsitektur Tradisional Palembang

Berdasarkan catatan sejarah kota Palembang yang berada di wilayah Sumatera Selatan dahulu merupakan pusat kerajaan Sriwijaya. Hal ini diperkuat oleh adanya Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di daerah Bukit Siguntang, sebelah barat kota Palembang.

Kata Palembang berasal dari kata Limbang yang berarti mencuci air sungai yang berlumpur untuk mendapatkan emas ditambah dengan awalan pa berarti menunjuk suatu tempat. Namun, ada versi lain yang menyebutkan bahwa kata Palembang berasal dari kata Lembang yang berarti genangan air dengan awalan pa berarti menunjuk suatu tempat. Dengan demikian kata Palembang dapat diartikan sebagai suatu tempat yang selalu tergenang air.

Pada saat ini yang disebut orang Palembang bukan lagi “Penduduk asli” melainkan keturunan hasil asimilasi pendatang dengan latar belakang etnik yang beragam. Orang Palembang asli sendiri serint disebut sebagai Melayu Palembang mereka sendiri menyebut dirinya sebagai wong Palembang.

Mata pencaharian utama sebagian besar masyarakat kota ini adalah menangkap ikan, membuat perahu dan nambangi yaitu mendayung perahu tambangan untuk penumpang yang akan menyeberangi sungai. Disamping itu kaum wanita dan anak-anak juga bekerja membuat rokok godong (dari daun nipah), kerupuk kemplang, dan mpek-mpek yang terbuat dari ikan tenggiri.

Mayoritas wong Palembang beragama Islam dan sebagian kecil Protestan, Katholik dan Budha. Mereka memiliki kerajinan khas, seperti nyaman rotan, ukitan emas dan tenunan kain yang menghasilkan berbagai kain songket dengan motif hiasan yang beraneka ragam, seperti songket Lepus, janda berhias, bunga intan tretes midar, kembang siku hijau dan sebagainya.

Bentuk Rumah

Masyarakat Palembang mengenal tiga bentuk bangunan tempat tinggal seperti rumah Limas, rumah cara gudang, dan rumah rakit. Rumah Limas adalah rumah panggung dengan atap berbentuk limas dengan tiang penyangga terbuat dari kayu. Bentuk umum rumah Limas adalah limasan gajah njerum. Bangunan rumah Limas berbentuk empat persegi panjang dengan lantai berundak atau kekijing. Jumlah kekijing 2-4 buah dan tinggi tiang rumah antara 1,5 meter sampai dengan 2 meter. Pada umumnya rumah Limas dibangun di daerah basah dengan tiang berukuran panjang yang ditancapkan dalam-dalam ke tanah.

Rumah Adat Palembang

Bentuk bangunan tempat tinggal yang kedua adalah rumah cara gudang. Rumah ini juga memiliki atap berbentuk limas (limasan bapangan) dengan bentuk bangunan empat persegi panjang, dan dibangun di atas tiang-tiang setinggi 2 meter. Disebut sebagai rumah cara gudang karena rumah ini bentuknya panjang seperti gudang penyimpanan barang-barang. Ada tiga bagian ruang dalam rumah cara gudang, yaitu ruang depan termasuk tangga (2 buah tangga yang terdapat di kiri kanan garang), dan beranda, ruang tengah dan ruang belakang.

Rumah tradisional yang ketiga adalah rumah rakit. Kenapa disebut rumah rakit? Karena rumah ini dibangun dengan tetap terapung di atas sebuah rakit yang terdiri dari sekumpulan balok-balok kayu atau bambu-bambu yang dirangkai menjadi satu. Setiap sudut rumah dipasang tiang agar bangunan tidak bergeser dan diikat dengan tali rotan yang dipasang pada tonggak yang kuat dan kokoh di tebing sungai.

Rumah rakit ini berbentuk persegi panjang dengan selisih antara panjang dan lebarnya sedikit, sedangkan atapnya mirip dengan bentuk atap rumah Kampung Apitan di Jawa yang terdiri dari atap kajang atau atap cara gudang.

Susunan Ruangan

Rumah Limas terdiri atas tiga bagian yaitu ruang depan, ruang tengah, dan ruang belakang. Ruang depan atau beranda disebut garang. Rumah ini memiliki dua buah tangga dengan jumlah anak tangga ganjil, yang diletakkan di kiri-kanan garang. Kadang-kadang ada bangunan tambahan yang disebut jogan berbentuk persegi panjang atau huruf L. Pada umumnya jogan berfungsi sebagai tempat beristirahat pada sore atau pun malam hari, namun kadang-kadang juga dimanfaatkan oleh anak-anak untuk menonton kesenian pada saat ada perhelatan.

Ruangan berikutnya adalah ruang tengah. Ruang tengah terdiri dari empat atau beberapa kekijing yang dilengkapi dengan dua buah jendela pada kiri kanannya. Antara kekejing pertama dengan kedua diberi sekat atau kiyam. Lemari dinding dan amben diletakkan pada kekijing terakhir.

Lemari dinding dibuat tinggi sampai ke loteng, di bagian bawah lemari dinding setebal 69 cm dibuat ruangan tertutup seperti kotak yang fungsinya untuk menyimpan perabot rumah tangga seperti piring/mangkuk. Di atas kotak tersebut diberi kaca setebal 80 cm untuk memajang barang rumah tangga yang terbuat dari porselen.

Bila sewaktu-waktu diadakan upacara, kekijing pertama ditempati kaum kerabat dan para undangan yang berusia muda, kekijing kedua ditempati oleh undangan setengah baya sedangkan kekijing ketiga dan keempat ditempati oleh undangan yang telah berusia tua atau orang yang dihormati. Namun, dalam keadaan biasa, ruangan tengah ini juga berfungsi sebagai ruang serba guna. Biasanya kekijing terakhir dipergunakan oleh kepala keluarga dan bila mereka mempunyai anak perempuan dewasa. Kamar tersebut dipakai oleh mereka sehingga kamar ini sering disebut kamar gadis.

Ruang belakang rumah limas ini adalah dapur. Dapur sengaja dibuat lebih rendah ± 30-40 cm dari ruang tengah, dengan lebar yang sama dengan rumah. Ada dua bangunan dapur, pertama termasuk bagian dari rumah Limas dan kedua dibuat bangunan tersendiri dengan sebuah tangga yang dipergunakan untuk naik ke dapur. Di bagian dapur ini dengan tanah yang dipadatkan kemudian di atasnya diberi batu sebagai tungku untuk memasak. Ruangan di bawah kotak berkaki digunakan sebagai tempat menyimpan kayu , sedangkan di atasnya dibuat pago dengan panjang dan lebar sama dengan meja dapur. Pago ini dilapisi oleh alas atau galar yang terbuat dari bambu atau papan yang dipergunakan sebagai tempat pengeringan atau penyimpanan.

Susunan ruangan rumah cara gudang sama seperti rumah Limas yang terdiri atas tiga bagian, yaitu ruang depan yang terdiri dari tangga, garang dan beranda, kemudian ruang tengah, ruang belakang dan ruang dalam sebagai ruang serba guna. Ruang depan atau garang dalam rumah cara gudang ini juga berfungsi sebagai tempat untuk istirahat. Selain itu , bila ada perhelatan garang berfungsi sebagai tempat untuk mengadakan upacara/kesenian. Sedangkan ruang ulama pada rumah cara gudang terletak pada ruang tengah, sehingga tamu atau undangan terhormat ditempatkan di ruangan ini.

Ruang belakang terdiri dari sebuah kamar, dapur dan ruang dalam. Sebelum anak perempuan dewasa, ruangan ini ditempati oleh kepala keluarga, namun bila anak perempuan sudah dewasa kamar itu ditempati oleh anak gadis tersebut.

Seperti halnya rumah Limas, bagian belakang rumah cara gudang ini adalah dapur. Ada 3 bagian dapur, bagian pertama yaitu tempat untuk menyiapkan dan mengolah bahan masakan, bagian kedua untuk memasak dan bagian ketiga tempat untuk mencuci. Di dapur ini juga terdapat pago yang fungsi dan tujuannya sama dengan fungsi pago dalam rumah Limas.

Dari ketiga bentuk bangunan tradisional tersebut, yang paling sederhana bentuk dan susunan ruangannya adalah rumah rakit. Rumah rakit hanya terdiri dari dua bagian yaitu bagian pertama untuk tempat tidur dan bagian kedua untuk kegiatan sehari-hari yang juga merupakan tempat untuk menerima tamu. Sedangkan dapur dibuat menempel pada bagian ruang tempat tidur namun demikian kadang-kadang ada pula dapur yang dibuat secara khusus seperti dapur pada rumah limas atau rumah cara gudang.

Ragam Hias

Ragam hias yang biasa dipergunakan pada rumah tradisional di daerah ini adalah ragam hias berbentuk flora yang merupakan terjemahan dari nilai-nilai agama dan kepercayaan yang mereka anut.

Pada rumah limas, puncak bubungannya diberi ornamen simbar berbentuk kuncup bunga cempaka, sedangkan bagian atapnya diberi omamen tandook kembeeng dengan jumlah ganjil.

Motif ragam hias yang ada pada masa kesultanan Palembang adalah motif tumbuh-tumbuhan sesuai dengan hadits Nabi Muhammad SAW yang melarang Islam menggambar makhluk hidup. Ukiran ini pun akhimya berkembang dengan fungsi sebagai nilai estetis dan ventilasi udara dengan nilai filosofi yang tinggi.

Ada dua jenis ukiran rumah limas yaitu ukiran timbul dan terawang, dengan wama keemasan merah hati, kuning, hitam dan coklat serta setiap wama terang seperti merah dan prado (emas).

Ragam hias rumah limas ini dapat dijumpai pada pegangan tangga (sepapa), dinding fogan di atas pintu masuk dan  jendela kekijing serta soko domas (bagian tengah rumah dan atap). Ukiran di atas pintu masuk dengan motif kembang tanjung mengandung makna selamat datang, sedangkan ukiran di bagian atas (kekeweng) dinding pemisah ragam hias antara ruang keluarga (gegajah) dengan kekijing digunakan motif kembang melati, mawar, dan buah srikaya lengkap dengan daunnya. Di bawah kekeweng, terdapat simbar sobra dan bagian yang terbawah disebut ketopang atau gandik. Selain itu, ada pula jenis ukiran puncak rebung yang diletakkan pada soko domas.

Beberapa Upacara

Sebelum mendirikan rumah tinggal, ada beberapa upacara adat yang dilakukan dengan maksud agar kegiatan membangun rumah berjalan lancar, terhindar dari malapetaka dan pemilik rumah mendapatkan keselamatan, rejeki dan kesejahteraan.

Pertama-tama yang dilakukan adalah jiron yaitu mengundang sanak famili dan tetangga terdekat. Penyelenggaraan jiron bertujuan untuk mengumumkan bahwa si pemilik rumah akan mendirikan rumah sekaligus memohon doa restu. Kemudian mereka melakukan penyembelihan hewan seperti ayam, itik dan kambing, yang bertujuan agar pelaksanaan pembangunan rumah tersebut jangan sampai ada korban jiwa. Acara jiron ini diselenggarakan pada hari Kamis malam dipimpin oleh ketua adat atau kyai.

Selanjutnya pemilik rumah mengadakan upacara mendirikan rumah yang disebut upacara mendirikan cagak. Upacara mendirikan cagak ini dilakukan pada hari senin, hal ini berkaitan dengan kepercayaan agama Islam bahwa segala tumbuhan diciptakan hari Senin. Selain itu kelahiran, hijrah maupun wafat Nabi Muhammad SAW pun hari senin.

Setelah itu diadakan upacara naik atap yang dilakukan setelah pemasangan alang atau sanan pada kap rumah. Pada upacara ini dilakukan penyembelihan hewan berkaki empat seperti sapi, kerbau dan kambing. Menurut kepercayaan mereka, makin besar hewan yang disembelih makin besar kekuatan magisnya.

Adapun alat-alat yang digunakan dalam upacara mendirikan cagak adalah kepala dan kaki hewan yang disembelih, sedangkan pada upacaa naik atap digunakan azimat yang terbungkus rapi, selembar cindeh/selendang, beberapa buah opak, setandan pisang emas, beberapa buah kulit ketupat, kembang pandan dan kendi yang berisi ketumbar, garam, beras dan sedikit air. Pada saat itu diadakan pembacaan doa oleh ketua adat/kyai dan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan ditutup dengan acara makan minum bersama.

Pada saat rumah selesai dibangun, diadakan upacara nunggu rumah yaitu upacara menempati rumah baru. Upacara nunggu rumah ini diadakan di rumah baru dengan mengundang sanak famili, tetangga dekat, dan para tukang kayu yang membantu membangun rumah tersebut.***tdb

Wallahu a’lam

***Rujukan: Arsitektur Tradisional; Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata; Jakarta 2002

3 pemikiran pada “Arsitektur Tradisional Palembang

  1. Laaaahahahaaa pacak cak itu ye, samo bae mang aku jugo dak kobar2 lagi, tinggal siso-siso gawe lamo bae ini, daktau nak diapoke lagi, hahaaa.

    Kalu ado pembaca blog ini yg minat domain infokito.net, kontak bae ye, ambeklah free, umur msh mayan panjang.

Tinggalkan komentar