Pesantren Al Maliki Ar Rushaifah Makkah Wadah Santri Indonesia Menimba Ilmu

Selama ini, Kota Suci Makkah dikenal sebagai tempat menunaikan ibadah haji dan umroh. Akan tetapi, Makkah juga memiliki potensi keilmuan yang sangat besar, dan itu terepresentasi oleh keberadaan sejumlah lembaga pendidikan, salah satunya Pesantren Al Maliki.

Lembaga pendidikan ini berlokasi di kawasan Ar-Rushaifah, sekitar lima kilometer dari Masjidil Haram ke arah Jeddah. Pengaruhnya cukup besar di bidang keilmuan. Para ulama dan mubaligh dari seluruh dunia telah menimba ilmu di sini.

Di antaranya juga berasal dari Indonesia. Ini merupakan kebanggaan tersendiri bagi mereka bisa menuntut pendidikan di pesantren yang didirikan oleh Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas Al Maliki Al Makki Al Hasani tersebut.

Seperti diuraikan Ustadz Hisyam Burhani Hasyim, yang menimba ilmu di sana selama 15 tahun sejak tahun 1993 hingga 2008, pesantren itu merupakan man’baul ilmi (sumber ilmu) terutama ilmu hadis dan ilmu tafsir.

“Jadi, sangat membanggakan,” papar dia, beberapa waktu lalu.

Yang membanggakan juga, sambung ustadz muda yang kini mengasuh Pondok Pesantren Al Hidayah Basmol Jakarta Barat, karena Abuya, begitu para santri menyapa Sayyid Muhammad Al Maliki, dikenal sebagai ‘Alimul Hijaz’ serta Fakhrul Hijaz (ulama dan kebanggaan kota Makkah dan Madinah).

“Beliau terkenal dengan kedalaman ilmunya. Banyak ulama dari berbagai negara seperti Maroko, Turki, Indonesia, Syria dan lainnya yang belajar kepada Abuya,” jelas Ustadz Hisyam. Sejumlah tokoh dan ulama Indonesia pun diketahui sering berkunjung ke pesantren tersebut. Antara lain mantan Presiden Abdurrahman Wahid, mantan Wapres Hamzah Haz, mantan Menteri Agama Prof Dr Said Agil Al Munawwar dan mantan Ketua Umum Golkar Akbar Tanjung.

Akan tetapi, tak hanya Abuya yang memberikan pelajaran di pesantren ini, melainkan beberapa ulama terkemuka dari berbagai negara. Antara lain Syeikh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Syeikh Ahmad Jabir, ulama fikih terkemuka dari Yaman, Sayyid Ahmad Ar-Ruqaimi, ulama terkemuka dari Yaman serta sejumlah ulama lainnya.

Tahun 1976 adalah kali pertama santri asal Indonesia menuntut ilmu di Pesantren al Maliki. Ada sebanyak sembilan santri. Di antaranya Habib Idrus, Ustadz Ihya, Ustadz Muiz, Ustadz Muhammad Al Haddad, Ustadz Shaleh Al Habsyi, Abi Ahmad Baraqwan, Ahmad Assegaf, dan lainnya.

Semula, mereka tinggal di rumah orang Indonesia yang muqim di Makkah. Kesembilan santri Indonesia tersebut aktif mengikuti pengajian yang dilakukan Sayyid Muhammad di Baabussalam Masjidil Haram.

Mereka lantas berkuliah di Universitas Ummul Quro, tapi beberapa tahun kemudian, memutuskan ikut Abuya di pesantren yang didirikannya. Merekalah santri awal yang kali pertama belajar di Pesantren Al Maliki pada tahun 1976-1977, dan sejak itu kian menjadi tujuan santri dari Indonesia.

Apa kesannya setelah nyantri di sana? “Subhanallah, kalau sudah tinggal di situ, selalu ada rasa rindu kepada orangtua, karena Abuya memang seperti sosok orangtua bagi kami,” ujar Ustadz Hisyam.

Seperti juga dirasakan mubaligh kondang Ustadz Yusuf Mansyur, yang beberapa waktu lalu sempat berkunjung ke pesantren ini. Dia mengungkapkan bahwa ghirah keilmuan dari segenap keluarga pesantren sangatlah tinggi dan merupakan cerminan dari orang-orang berilmu.

“Bisa belajar di Makkah sebenarnya salah satu cita-cita saya. Secara langsung tidak kesampaian. Tapi, obsesi ini akan saya curahkan kepada anak-anak didik saya sehingga mereka bisa belajar di Makkah,” ungkap dia.

Pimpinan Pondok Pesantren Daarul Ulum Sawangan Depok itu pun mengaku bangga dapat menyaksikan dari dekat pesantren tempat santri Indonesia menimba ilmu agama di Kota Suci Makkah.

Dia punya obsesi lain. “Insya Allah saya akan datang lagi di bulan Ramadhan ini, dan mudah-mudahan bisa mengimami Tarawih di pesantren yang sangat disegani di kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah seluruh dunia,” katanya penuh harap. *** dam

Wallahu a’lam

***Harian Republika, Edisi Jumat, 21 Agustus 2009 halaman 6

kembali ke atas | indeks pilihan | download


Tinggalkan komentar