Jejak Batak di Tobasa

Ahmad Sofiullah | Media Indonesia

Kehidupan orang Batak ratusan tahun lalu terekam jelas di Desa Pagar Batu Kecamatan Balige, Toba Samosir, Sumatra Utara.

Pesawat Fokker yang kami tumpangi mendarat mulus di Bandara Silangit sekitar pukul 10.20 WIB. Itu berarti butuh waktu sekitar 2 jam perjalanan udara dari Jakarta menuju Tapanuli utara.

Jika memposisikan diri sebagai wisatawan, boleh jadi saya termasuk wisatawan yang beruntung bisa tiba secepat itu di Tapanuli Utara. Apa sebab? Akses transportasi reguler menuju Tapanuli Utara masih cukup sulit. Kalau saja waktu itu tidak ikut rombongan pejabat, dari Jakarta saya tidak bisa langsung mendarat di Bandara Silangit Taput (istilah keren untuk Kabupaten Tapanuli Utara), tapi harus mampir dulu ke Bandara Polonia Medan dan menempuh perjalanan darat selama 5-6 jam. Maklum, Bandara Silangit masih terlalu mungil bagi pesawat besar semacam Boeing ataupun Airbus untuk mendarat.

Ada yang menggembirakan, dari Bandara Polonia ada juga pesawat twin otter Susy Air yang mengantarkan rombongan ke Bandara Silangit dengan jadwal sekali sehari. Selain itu, pemda setempat konon sudah memesan sebagian kursi Susy Air khusus bagi wisatawan yang ingin datang ke Taput dari Medan.

Tantangan transportasi yang sulit bisa jadi merupakan seni rekreasi bagi wisatawan yang doyan berpetualang. Tapi bagi wisatawan rasional, boleh jadi malah akan banting setir berangkat ke luar negeri dengan asumsi lebih praktis.

Salah satu yang cuma ada di Taput adalah jejak peradaban orang Batak. Kita bisa mampir ke kompleks TB Silalahi Center (TBSC) yang lokasinya tidak jauh dari Bandara Silangit. Tepatnya di Jalan Desa Pagar Batu, Kecamatan Balige. Kalau tidak mau repot, dari bandara kita bisa menyewa jasa ojek dengan tarif sekitar Rp10 ribu (red-tahun 2009).

Sepanjang jalan dari bandara menuju TBSC banyak hal unik yang bisa diabadikan. Misal rumah-rumah panggung dan makam orang Batak yang indah. Jika kita cermati, makam orang Batak di sana umumnya lebih megah dan lebih bagus ketimbang rumah yang ditinggalinya sewaktu masih hidup. Masyarakat di sana memandang makam sebagai tempat peristirahatan terakhir yang abadi sehingga harus dibuat bagus dan semegah mungkin.

Setibanya di TBSC, pengunjung bisa melepas lelah lebih dulu di kafe terbuka atau langsung memuaskan hasrat berbelanja di galeri yang ada di bagian depan TBSC. Kalau Anda memilih bersantai di kafe, sebaiknya memilih posisi di lantai dua agar bisa menikmati pemandangan Danau Toba dari kafe tersebut. Maklum, TBSC memang bertetangga dengan salah satu danau terindah di dunia itu.

Kalau penat sudah terlepas, bergegaslah ke bagian belakang TBSC. Di sana ada kompleks perumahan Batak tempo dulu, bernama Hutabatak. Hutabatak artinya desa Batak yang tertutup. Dulu, orang Batak memang memiliki permukiman yang khas berupa desa-desa yang tertutup dan membentuk masyarakat kelompok kecil. Biasanya kelompok itu merupakan kumpulan marga yang masih memiliki hubungan kekerabatan.

Ada dua jenis rumah adat yang ada di dalam Hutabatak, yaitu ruma dan sopo yang saling berhadapan. Di antara kedua deretan bangunan tersebut terdapat halaman yang luas (alaman) yang menjadi tempat kegiatan orang tua dan anak-anak.

Di TBSC, ada enam rumah asli Batak yang berusia sekitar 120-150 tahun. Masing-masing merupakan sumbangan dari keluarga (marga) Batak yang mencintai kebudayaan leluhur. Termasuk salah satunya adalah rumah sang pendiri kompleks, TB Silalahi, semasa kecil. Biasanya di rumah tersebut ada warga, biasanya kaum perempuan, yang sedang membuat tenun ulos bersama-sama.

Di masa lalu, huta dikelilingi tembok batu yang ditanami pohon bambu. Jalan masuknya hanya satu atau dua gerbang (bahal). Di sisi bahal terdapat pohon beringin dan hariara.

Selain rumah-rumah Batak tempo dulu, ada pula pangulubalang (patung) di Hutabatak. Pangulubalang merupakan peninggalan suku Batak ketika masih menganut animisme. Dulu, pangulubalang dianggap sebagai patung pelindung desa, khususnya saat penduduk desa sedang meninggalkan desa untuk bertani. Patung-patung itu terbuat dari batu, namun ada juga patung yang dibuat dari kayu.

Pangulubalang mempunyai peran penting untuk membantu menyelesaikan perselisihan antarmarga atau antardesa. Konon roh pangulubalang ditugasi pergi ke daerah musuh untuk menutup mata dan telinga musuh agar tidak mampu berperang lagi.

Pada saat-saat tertentu, patung itu dipuja dan disembah supaya masyarakat desa selamat dari mara bahaya dan juga untuk memohon rezeki. Menurut penduduk setempat, jika berdoa di depan pangulubalang, akan dikabulkan. Nah, jika Anda yang punya keinginan, berdoalah di depan pangulubalang. Jangan lupa siapkan uang kecil untuk dimasukkan ke celengan patung sebagai syarat.***(M-4)

Selain perkampungan Hutabatak, di TBSC, kita juga bisa menengok bagaimana cara orang Batak hidup di masa lalu di sebuah rumah besar bernama Ruma Bolon.

Ruma Bolon ini berukuran 9,5 x 15 meter atau hampir 2x lebih besar dari ukuran ruma normal. Ciri khas Ruma Bolon adalah dinding yang kaya dengan ukiran (gorga). Selain sebagai dekorasi, gorga ini memiliki nilai  loso dan religi.

Singa-singa di kiri dan kanan, jenggar, maupun ulupaung dibuat untuk memberikan rasa nyaman penghuni. Hiasan payudara sebagai lambang kesuburan (hagabeon), kadal/cecak (boraspati) lambang kebijaksanaan dan kekayaan dan gorga yang bergelung-gelung (sulur) yang simetris.

Di dalam Ruma Bolon banyak replika peradaban di masa lalu. Misalnya bagaimana masyarakat Batak dulu memercayai perdukunan dan pengobatan tradisional. Di dalam ruma juga terdapat peralatan pesta orang Batak jaman dulu, alat rumah tangga dan perilaku berburu di masa lalu.

Jika Anda datang pada musim liburan, biasanya ada pertunjukan tari Tor-Tor di depan Ruma Bolon. Yang menarik, pertunjukan dilakukan di bawah ruma, tetapi pemain musik pengiring beraksi di atas Ruma Bolon.

Pada bagian bawah Ruma Bolon terdapat bagian bernama tombara yang digunakan sebagai kandang ternak, menyimpan kayu dan peralatan sehari-hari, juga untuk menenun ulos/kain. Sementara itu, bagian tengah rumah dimanfaatkan sebagai tempat kediaman yang tidak bersekat.

Yang menarik, orang Batak dulu beristirahat cukup beralaskan tikar yang sekaligus menjadi pembatas antara satu keluarga dan keluarga lain yang tinggal di dalam ruma tersebut. Ruangan kediaman itu sekaligus berfungsi sebagai dapur dan di situlah semua keluarga menggunakan dua atau tiga tungku (tataring) untuk memasak.

Di atas setiap tungku terdapat para-para yang berfungsi sebagai tempat menyimpan peralatan makan dan alat dapur.

Kalau Anda belum puas menengok peradaban Batak di masa lalu cuma di Ruma Bolon, sebelum pulang, mampirlah dulu ke museum di samping kanan Ruma Bolon. Di sana wawasan Anda tentang kehidupan orang Batak akan semakin terbuka.

Bahkan menurut tokoh adat setempat, ada sebuah patung di museum yang konon tidak boleh dikunjungi saat malam hari karena sangat mistis. Nah, apakah Anda percaya? Rasakan saja sendiri sensasi berpetualang di Balige!***(AF/M-4)

Wallahu a’lam

***Disadur dari tulisan di laman MEDIA INDONESIA edisi Ahad, 2 Agustus 2009, halaman 17

kembali ke atas | indeks pilihan | download


Sumber facebook aqilahwood art

Tinggalkan komentar